Selamat Tinggal Ayah ~ Bunda
Sang surya kini telah menampakkan sinar keemasannya. Menyapa bumi dengan teriknya yang hangat. Rima telah rapi dengan seragam putih abu yang ia kenakan. Ya, hari ini seperti rutinitas biasa ia siap menjalankan aktivitasnya sebagai seorang titisan Ki Hajar Dewantara.
Sang surya kini telah menampakkan sinar keemasannya. Menyapa bumi dengan teriknya yang hangat. Rima telah rapi dengan seragam putih abu yang ia kenakan. Ya, hari ini seperti rutinitas biasa ia siap menjalankan aktivitasnya sebagai seorang titisan Ki Hajar Dewantara.
“Bunda, Ayah, Rima berangkat sekolah dulu, ya,” ucap Rima ketika selesai meneguk segelas susu hangat.
“Kamu, enggak berangkat bareng sama Ayah?” tanya Ayah.
“Enggak, Yah. Rima naik sepeda aja ke sekolahnya. Itu lebih seru,” jawab Rima seraya mengacungkan ibu jarinya.
“Ya, udah, kamu hati-hati, ya, di jalannya,” nasihat Bunda.
“Oke, deh. Rima berangkat dulu, ya. Bunda hati-hati, ya, di rumah jangan terlalu kecapean. Ayah juga hati-hati, ya, nanti berangkat kerjanya. Asalamualaikum,” ucap Rima seraya mencium punggung tangan kedua orang tuanya yang mulai keriput.
“Waalaikumsalam.”
Selang beberapa saat Rima telah sampai di sebuah bangunan yang berdiri megah. Di sana terdapat plang yang bertuliskan “SMA Negeri 47 Jakarta”. Benar, bangunan tersebut adalah tempat Rima menuntut ilmu. Dengan perlahan ia berjalan menuju kelas.
“Hai, semua. Selamat pagi,” sapa Rima dengan cerianya ketika ia telah sampai di kelas. Teman-temannya menanggapi sapaan Rima dengan sebuah senyuman. Tetapi, ketika Rima hendak melangkah menuju bangkunya, tiba-tiba saja ia terjatuh.