} -->


web stats

Senin, 30 Desember 2013

SELAMAT TINGGAL AYAH ~ BUNDA

Selamat Tinggal Ayah ~ Bunda

Sang surya kini telah menampakkan sinar keemasannya. Menyapa bumi dengan teriknya yang hangat. Rima telah rapi dengan seragam putih abu yang ia kenakan. Ya, hari ini seperti rutinitas biasa ia siap menjalankan aktivitasnya sebagai seorang titisan Ki Hajar Dewantara.

“Bunda, Ayah, Rima berangkat sekolah dulu, ya,” ucap Rima ketika selesai meneguk segelas susu hangat.

“Kamu, enggak berangkat bareng sama Ayah?” tanya Ayah.

“Enggak, Yah. Rima naik sepeda aja ke sekolahnya. Itu lebih seru,” jawab Rima seraya mengacungkan ibu jarinya.

“Ya, udah, kamu hati-hati, ya, di jalannya,” nasihat Bunda.

“Oke, deh. Rima berangkat dulu, ya. Bunda hati-hati, ya, di rumah jangan terlalu kecapean. Ayah juga hati-hati, ya, nanti berangkat kerjanya. Asalamualaikum,” ucap Rima seraya mencium punggung tangan kedua orang tuanya yang mulai keriput.

“Waalaikumsalam.”


Selang beberapa saat Rima telah sampai di sebuah bangunan yang berdiri megah. Di sana terdapat plang yang bertuliskan “SMA Negeri 47 Jakarta”. Benar, bangunan tersebut adalah tempat Rima menuntut ilmu. Dengan perlahan ia berjalan menuju kelas.

“Hai, semua. Selamat pagi,” sapa Rima dengan cerianya ketika ia telah sampai di kelas. Teman-temannya menanggapi sapaan Rima dengan sebuah senyuman. Tetapi, ketika Rima hendak melangkah menuju bangkunya, tiba-tiba saja ia terjatuh.


“Kamu kenapa, Rim?” tanya Alena teman sebangku sekaligus sahabat Rima seraya berlari menghampiri Rima.

“Kaki aku tiba-tiba aja kram, Len,” jawab Rima disertai senyuman.

“Ya, udah, yuk, aku bantu berdiri.”

Rima mengangguk. Namun, ketika Rima hendak berdiri, ia kembali terjatuh. Kakinya sama sekali tak dapat digerakkan.

“Kamu yakin enggak apa-apa, Rim?” tanya Alena memastikan. Dari raut wajahnya, Alena terlihat sangat khawatir.

“Iya, aku enggak apa-apa, kok, Len. Kakiku hanya kram,” jawab Rima.


Hari telah berganti hari dan setiap hari itu pula kaki Rima sering kehilangan fungsinya. Bukan hanya pada kaki, melainkan juga tangan. Bahkan kini penglihatannya sering kabur secara tiba-tiba. Namun demikian, Rima tak pernah memberitahukan hal tersebut pada kedua orang tuanya. Ia tak ingin hal tersebut membuat mereka khawatir. Lagipula, mungkin kaki dan tangannya hanya kram biasa dan mungkin matanya terkena minus sehingga pandangannya sering menjadi kabur. Rima selalu berpikir positif bahwa memang tak ada hal serius yang terjadi pada dirinya.


PRANG...

Tiba-tiba saja piring yang ada di tangan Rima terjatuh. Ayah dan bunda yang berada di meja makan menoleh bersamaan ke arah Rima. Rima menatap pecahan piring yang berada tak jauh dari kakinya.


Lagi? Tanganku lagi-lagi tak dapat aku gerakkan. Tuhan...


“Rima kamu tidak apa-apa, sayang?” tanya Bunda yang kini berada di samping Rima.

“Maaf, Bunda. Tangan Rima tadi licin, jadi piringnya jatuh,” jawab Rima seraya menatap bundanya. Ia lalu berjongkok berniat membereskan pecahan piring tersebut. Tapi, syaraf tangannya seolah tak menuruti kehendaknya. Tangannya tetap tak bisa digerakkan. Bunda ikut berjongkok.

“Sudah, biar Bunda yang ngeberesin,” ucap Bunda seraya tersenyum.

“Ada apa, Bund?” tanya Ayah yang kini ada di samping bunda dan Rima.

“Ini, Yah, piringnya pecah,” jawab Bunda seraya membereskan pecahan piring. Sementara Rima, ia tak melepaskan tatapannya dari pecahan-pecahan piring yang dibenahi oleh bundanya.

“Lain kali kamu hati-hati, ya, Rim. Untung piringnya gak jatuh ke kaki kamu,” nasihat Ayah seraya mengacak-acak rambut Rima. Rima hanya mengangguk. Sebagian pikirannya masih tertuju pada pecahan piring tersebut.

Lagi, lagi dan lagi hal yang sama terus terjadi. Kali ini bukan hanya sekedar tak dapat digerakkan bahkan Rima mengalami kesusahan saat meraih dan memegang sesuatu. Selain itu, di kakinya kini terdapat sebuah benjolan besar berwarna kemerahan yang terasa begitu menyakitkan.

Ayah dan bunda yang mengetahui hal ini memutuskan untuk mengecek keadaan Rima ke rumah sakit agar mengetahui penyakit yang menyerang Rima. Mereka kini tengah berada rumah sakit untuk menunggu hasil rontgen keluar.

“Sudahlah, Ayah, Bunda jangan khawatir seperti itu. Rima itu baik-baik aja. Nanti pasti hasil rontgen-nya juga bakal nunjukin kalau Rima itu emang baik-baik aja,” ucap Rima yang melihat rasa khawatir di wajah kedua orang tuanya.

“Ya, semoga aja, ya, sayang.”

Tak lama kemudian seorang pria yang mengenakan jas berwarna putih telah keluar dari laboratorium.

“Orang tua dari Andini Rimayani!” panggil Dokter.

“Iya, kami, Dok.”

“Bisa ikut ke ruangan saya.”

Setibanya di ruang Dr. Martinus, ayah, bunda serta Rima seolah tak percaya dengan apa yang telah dijelaskan oleh Dr. Martinus. Bunda tak henti menangis. Air matanya meluncur bebas dari ujung matanya. Sementara Rima, ia hanya terdiam. Ternyata, tak diduga, telah lama ini ia menderita penyakit yang sangat mematikan. Osteosarkoma atau lebih dikenal dengan kanker tulang, sebuah penyakit yang telah banyak memakan banyak korban.

“Lantas, apa penyakit anak saya ini masih bisa dijinakkan, Dok?” tanya Ayah. Ia berharap Dr. Martinus mengiakan pertanyaannya.

“Untuk sekarang ini kita dapat melakukan proses kemoterapi. Proses kemoterapi ini dapat berperan besar dalam membunuh sel kanker yang sedang berkembang di organ tubuh putri Bapak.”

“Kalau begitu lakukan yang terbaik untuk putri saya,” ujar Ayah.


Menjalani kemoterapi adalah penderitaan terbesar dalam hidup Rima. Bagaimana tidak? Kemoterapi pertama memang masih terasa normal, tapi kemoterapi berikutnya mulai terasa mematikan. Tubuhnya seakan menolak semua obat-obatan keras yang dimasukkan ke dalam tubuh. Ia meronta kesakitan, sulit bernapas, menggigil, mimisan, mual dan muntah, kulit menjadi kering bahkan ia harus merelakan mahkota terindah di kepalanya rontok.


Rima kini sedang terbaring di tempat tidurnya. Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Rima melirik almari berukuran kecil yang ada di dekat tempat tidurnya. Di sana terdapat segelas air putih. Rima mencoba mengambil gelas tersebut, tetapi syaraf tangannya seolah tak menuruti perintah otaknya.


PRANGG…

Gelas tersebut akhirnya terjatuh dan pecah.

“Ada apa, Rima?” tanya seorang perempuan paruh baya yang datang tergesa-gesa ke kamar Rima. Perempuan itu lalu duduk di samping Rima yang tengah terbaring.

“Maaf, Bunda, tadi Rima haus, terus waktu Rima mau ngambil minum, gelas itu malah jatuh,” jawab Rima sendu. Bunda tersenyum ke arah Rima seraya mengelus puncak kepalanya. Puncak kepala yang kini tak ditumbuhi rambut sehelai pun.

“Rima, lain kali kalau kamu mau apa-apa kamu panggil Bunda aja, ya.”

“Bunda, kenapa tangan Rima sekarang gak bisa digerakkin? Apa penyakit Rima ini udah makin bandel, Bunda?” tanya Rima dengan nada yang begitu lirih. Bunda menatap Rima dengan begitu sendu. Tanpa terasa air matanya mengalir bebas dari ujung matanya.

“Sayang, kamu yang sabar, ya. Suatu hari nanti kamu pasti sembuh, sayang.” Rima melihat ke arah bundanya seraya tersenyum.

“Iya, Bunda. Rima juga percaya pasti selalu ada harapan terkabulkan dalam setiap doa yang kita panjatkan dan harapan Rima untuk sembuh pun pasti itu gak akan jadi harapan semu. Benarkan, Bunda?”

Bunda mengangguk seraya menhapus air mata yang menerobos kantung matanya.


Hari ini adalah jadwal Rima melakukan kemoterapi. Seperti biasanya, Rima selalu merasakan sakit yang menyiksa setiap kali menjalani proses ini. Tetapi, ia harus berjuang, ia tak boleh mengecewakan harapan kedua orang tuanya agar ia segera sembuh. Walaupun proses kemoterapi itu sangat menyakitkan, tapi ia harus bisa melaluinya.

Namun, proses kemoterapi itu ternyata tak banyak membantu. Penyakit ganas dalam tubuh Rima kini semakin kebal terhadap cairan kimia yang di masukkan ke tubuhnya saat proses kemoterapi berlangsung. Suatu ketika Dr. Martinus menyarankan agar kaki kanan Rima segera diamputasi. Hal ini bertujuan agar sel kanker tidak menyerang organ tubuh lainnya.

“Maaf, Pak Bima, ada hal serius yang harus saya sampaikan,” ujar Dr. Martinus. Pak Bima yang tak lain adalah ayah Rima menatap Dr. Martinus.

“Sel kanker yang menyerang anak Bapak telah berkembang begitu pesat terutama pada tulang kaki sebelah kanan,” ujarnya seraya sesekali melihat hasil rontgen Rima.

“Apakah ada cara agar sel kanker itu dapat dijinakkan?” tanya Ayah penuh harap.

“Satu-satunya cara adalah dengan mengamputasi kaki sebelah kanan putri Bapak.”

“Apa, Dok? Amputasi? Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit anak saya? Rima, Rima hanya seorang gadis yang baru memasuki masa remajanya. Saya tak bisa membayangkan jika ia harus kehilangan sebelah kakinya,” ujar Ayah seraya menunduk. Dr. Martinus hanya menggeleng.

Ayah keluar dari ruangan Dr. Martinus dengan perasaan tak menentu. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan pada Rima. Menyuruh Rima mengikuti saran Dr. Martinus ia rasa itu adalah hal yang sangat menyakitkan. Tetapi, ia benar-benar tak punya pilihan.

“Ayah kenapa murung? Apa yang dikatakan Dr. Martinus, Yah?” tanya Rima penasaran.

“Dr. Martinus menyarankan agar kamu melakukan proses amputasi pada kaki sebelah kananmu agar sel kanker tidak menyebar ke organ tubuhmu yang lain,” jawab Ayah dengan suara yang terdengar begitu sendu.

Bunda yang semula tengah menyuapi Rima kini menghentikan pergerakannya.

“Apa, Yah? Amputasi? Apa tidak ada cara lain lagi?” tanya Bunda tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ayah hanya menggeleng lemah.

“Kalau itu yang terbaik buat Rima, Rima siap, Yah,” ujar Rima seraya tersenyum.

“Tapi, sayang, itu artinya kamu harus kehilangan kaki kamu.”

“Kehilangan satu kaki bagi Rima itu gak masalah, Yah. Toh, Rima masih punya sebelah kaki lagi, kan, Yah. Lagipula, semua yang kita miliki itu adalah titipan Allah termasuk anggota tubuh Rima. Ayah, Bunda, Rima rela jika Allah menghendaki Rima hanya mempunyai sebelah kaki,” ujar Rima. Ayah dan bunda menghela napasnya yang terasa begitu berat.


Akhirnya, proses amputasi itu berlangsung. Ayah tak hentinya melihat ke arah ruangan yang di mana Rima ada di dalamnya. Sementara bunda, ia tak henti menitikkan air mata.

Enam puluh menit yang terasa begitu panjang kini telah berlalu. Seorang pria yang mengenakan jas berwarna putih telah keluar dari ruang operasi. Ayah dan bunda segera berhambur ke arah Dr. Martinus.

“Dok, bagaimana keadaan anak saya?” tanya Ayah begitu khawatir. Dr. Martinus menundukkan wajahnya lalu menggeleng lemah.

“Maaf, kami telah berusaha seoptimal mungkin, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Ia lebih memilih Rima untuk segera kembali kepangkuan-Nya.” Seketika tangis bunda pecah.

“TIDAK! Ini tidak mungkin...”

“Oh, iya, sebelum proses amputasi tadi berlangsung, putri Bapak dan Ibu menitipkan ini,” ucap Dr. Martinus seraya menyerahkan sebuah amplop berwarna biru muda. Ayah menerima amplop tersebut dengan tangan yang gemetar. Mereka lalu membaca surat yang berada dalam amplop tersebut.

Teruntuk kedua malaikat yang aku cintai,


Seperti yang dulu Ayah dan Bunda sering katakan, kehidupan ini hanyalah ruang tunggu untuk menantikan giliran menghadap Sang Pencipta. Semua orang, baik Ayah, Bunda ataupun Rima pasti akan mendapat giliran. Giliran di mana kita akan berhenti menunggu. Di mana waktu yang telah Allah amanahkan pada kita akan segera behenti berputar.


Ayah, Bunda, jika Rima kini tak bisa lagi berada di samping kalian, itu bukan karena Rima bosan bersama kalian. Kalian tahu? Hal terindah dalam hidup Rima adalah saat-saat bersama kalian. Tak mungkin Rima merasa bosan bersama kalian. Sungguh, Rima merasa beruntung terlahir dari rahim seorang malaikat seperti Bunda. Beruntung mempunyai seorang ayah setangguh Ayah.


Terimakasih karena enam belas tahun ini kalian selalu menyangga Rima saat rayap-rayap keputusasaan menggerogoti pondasi semangat Rima. Terimakasih untuk semua hal yang telah kalian beri pada Rima. Hari-hari indah bersama kalian tak akan Rima lupakan. Rima akan selalu menyimpan nama kalian di sini, dalam hati Rima.


Maaf jika selama ini Rima hanya membuat kalian susah. Maaf karena Rima tak sempat mengukirkan kebahagian di hidup kalian. Namun, satu yang pasti, Rima sayang kalian melebihi diri Rima sendiri.


Yang mencintai kalian,

Andini Rimayani


Setelah membaca surat tersebut, bunda berteriak seraya berlari keruangan Rima. Di sana terlihat tubuh Rima telah ditutupi dengan sebuah kain.

“Sayang, ayolah bangun, sayang,” ujar Bunda seraya menggoyangkan tubuh kaku Rima.

“Ayo, Rima, kita pulang. Nanti setibanya di rumah Bunda bakal masakin semua makanan kesukaan kamu. Ayo, Rima, bangun,” isak Bunda. Seseorang di belakang bunda yang biasanya terlihat selalu tegar kini mulai menitikkan air matanya. Ayah menangis, tetapi ia berusaha menghapus air matanya kembali. Bunda menyeka air matanya yang seolah tak ingin berhenti membasahi pipinya lalu ia menghampiri ayah.

“Ayah, Rima gak mau bangun. Coba Ayah yang bujuk dia supaya dia mau membuka matanya,” ucap Bunda begitu pilu. Ayah segera memeluk bunda.

“Bunda harus sabar. Kita, kita harus mengikhlaskan Rima kembali kepangkuan-Nya,” lirih Ayah.

“Ayah ini bicara apa? Rima itu cuma tidur. Dia, dia pasti akan bangun lagi, Yah,” sangkal Bunda.

“Sadar Bunda, sadar. Rima telah kembali ke kehidupan abadinya.” Mendengar penuturan ayah, bunda menjadi semakin terisak.

“Kenapa, kenapa Rima pergi begiu cepat, Yah?”

“Mungkin, mungkin karena Allah begitu menyayanginya dan tak ingin melihat Rima lebih menderita lagi oleh penyakitnya. Bunda yang sabar, ya. Bukan hanya Bunda yang kehilangan Rima, tapi Ayah juga.”


Doa hanyalah sebatas harapan yang semu. Sesering apa pun kita meminta, sekeras apa pun kita berusaha, tapi akhirnya yang menentukan semuanya adalah Sang Pencipta. Seperti halnya yang terjadi pada Rima. Ia mengalami pendarahan yang sangat hebat saat proses amputasi itu berlangsung. Pendarahan itu menyebabkan harapan untuk sembuh itu lenyap seketika. Rima kini telah mengakhiri rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya dengan hembusan napas terakhir.

By : Jatmiko Pancargas

Back Cerita 
Lokasi: Malang, Malang City, East Java, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar